Senin, 05 Mei 2014
KEBUDAYAAN SUKU BADUI
19.14
No comments
Masyarakat dan Kebudayaan "Suku Badui" di Banten
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh
kepada seluruh ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
(Kepala Adat – red) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut
menjadi pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong
oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy Luar maupun Baduy
Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan sang
Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang
ditetapkan oleh Kepala Adat di sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan
masyarakat yang amat damai dan sejahtera. ”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang
kaya, namun tidak ada orang miskin.Kehidupan mereka, hakekatnya, sama seperti
layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah
begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
Bulan Puasa/Kawalu
Masyarakat Baduy Dalam sedang melaksanakan puasa yang
dinamakan Kawalu. Di saat Kawalu ini, orang dari luar komunitas Baduy Dalam
dilarang keras memasuki wilayah mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy
Dalam, mereka harus menjalani puasa yang mereka disebut “Kawalu” dan jatuh
bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak kegiatan adat dan
tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada
prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah
atau selamatan-selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari
besar bagi masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.
Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah
mengumpulkan hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi
beras. Dalam satu tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan
berturut-turut sesuai dengan amanah adat-nya.
Pernikahan
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat
Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan
menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan
proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke
Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir
secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran
kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas
kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju
serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat
yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya,
dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian.
Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka
telah meninggal. Jika setiap manusia melaksanakan hal tersebut.
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam,
beliau mengatakan bahwa di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi
pelanggaran ketentuan adat oleh anggota masyarakatnya. Dan oleh karenanya,
jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi hukuman, baik berdasarkan
hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada yang melakukan
pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu negara
yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman.
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran
berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan
sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke
dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua
atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang
melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini
dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan
berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau
rumah tahanan adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya
kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan
menjadi warga Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar
lebih longgar dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat,
sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah
Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung
narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang
mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak
melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas
seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat,
pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini
adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun
sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita
berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus
diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali,
paling hanya cekcok mulut saja.
Pakaian Suku Baduy
Dalam kehidupan keseharian manusia, berpakaian merupakan
salah satu alat untuk melindungi diri dan menunjukan citra diri terhadap
orang lain. Dalam hal ini masyarakat Baduy yang merupakan suku terasing di
Banten sudah memikirkan dalam hal berpakaian dalam masyarakatnya..Sebelumnya
Suku Baduy adalah suku yang menetap di ujung Pulau Jawa sebelah barat Suku
Baduy terdiri dari dua kelompok masyarakat, yaitu Baduy Luar, yang tinggal luar
daerah Baduy Dalam,dan baduy dalam yang menetap di Cibeo, Cikertawana dan
Cikeusik.Dalam pandangannya mereka yakin berasal dari satu keturunan, yang
memiliki satu keyakinan, tingkah laku, cita-cita, termasuk busana yang
dikenakannya pun adalah sama. Kalaupun ada perbedaan dalam berbusana, perbedaan
itu hanya terletak pada bahan dasar, model dan warnanya saja.Baduy Dalam
merupakan masyarakat yang masih tetap mempertahankan dengan kuat nilai-nilai
budaya warisan leluhurnya dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan luar. Ini
berbeda dengan Baduy Luar yang sudah mulai mengenal kebudayaan luar. Perbedaan
antara Baduy Dalam dan Baduy Luar seperti itu dapat dilihat dari cara busananya
berdasarkan status sosial, tingkat umur maupun fungsinya. Perbedaan busana
hanya didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu
Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang
yang disebut jamang sangsang,serba putih polos itu dapat mengandung
makna suci bersih karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di
badan. Desain baju sangsang hanya dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai
bagian dada saja. Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan
tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin.
Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.Untuk
bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya
dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi
diikat dengan selembar kain. Untuk kelengkapan pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala ini berfungsi sebagai
penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau
hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu
dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju
kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak
batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa
dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing
dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian
suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila
dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari warna, model ataupun corak
busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh
budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat penting. Bagi
masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian selalu
membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita
Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang
mencolok. Model, potongan dan warna pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka
mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai
dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk pakaian sehari-hari di rumah.
Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka secara
bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk pakaian
bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna
biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju
untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang
ditenun sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy
menenun sendiri yang dikerjakan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas,
kemudian dipanen, dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya.
Penggunaan warna pakaian untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam,
biru tua dan putih. Kain sarung atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu
dasar hitam dengan garis-garis putih, sedangkan selendang berwana putih, biru,
yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak
dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada
saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain
sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang
dilakukan oleh kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja,
yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang dicelup.
Kepercayaan Suku Badui
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri
sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang
(animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti
agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri
ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” (
kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa
perubahan apapun.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah
Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral.
masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali
pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan
rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di
daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat
pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan
panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh
pertanda akan terjadi kegagalan pada panen.
Mata Pencaharian Suku Badui
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan
penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy
biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki,
umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk
mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan
mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan
melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah
Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pendapat Saya :
Saya kagum terhadap Kebudayaan Suku Badui karena bagaimana
patuhnya masyarakat Baduy terhadap segala peraturan yang telah ditetapkan oleh
Pu’un mereka. Kepatuhan dan ketaatan itu dijalani dengan “enjoy” tanpa
penolakkan apapun . Mereka amat rukun, damai, dan sangat sejahtera untuk
ukuran kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari. Perkampungan Baduy dihuni oleh
komunitas yang selain kental dengan ketentuan adat, mereka juga murah senyum
.Secara jujur, setiap kita enggan berpaling dari pandangan kepada sosok Orang
Baduy, terutama yang tinggal di Baduy Dalam. Ternyata wajah dan tubuh Orang
Baduy sangat bersih tanpa ada yang namannya jerawat menempel
di wajahnya, amat mulus walaupun mereka mandi tidak diperbolehkan menggunakan
sabun, shampoo serta sikat gigi.Tapi sayang, kita sebagai masyarakat luar
Baduy, yang bukan dari suku Baduy Dalam maupun Baduy Luar tidak diperbolehkan
untuk meminang gadis Baduy.
Dari model, potongan dan cara berbusananya saja, secara
sepintas kita akan tahu bahwa mereka adalah suku Baduy. Pakaian bagi suku
Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan sebagai identitas
budaya yang semuanya itu adalah warisan dari karuhun atau nenek moyang untuk
dijaga. Untuk itu kita harus lebih banyak mengampil contoh kehidupan positif
dari masyarakat Baduy yang tidak mengeyam pendidikan formal…